Terdengar suara berat seorang pria
yang sedang membacakan sebuah cerita tidur untuk putri kecilnya. Wajah sang
pria yang berubah–ubah sesuai dengan adegan telah berhasil membuat putri
kecilnya terkesima.
“Ayah,
apa peri gigi itu sungguh ada?”
Sang ayah berhenti membaca dan
tersenyum. Ia mengusap–ngusap kepala putri kesayangannya itu dengan lembut.
“Tidak
nak. Itu hanya cerita dongeng.”
“Tapi…
bagaimana jika peri gigi itu ternyata ada?”
“Hmmm—jika
peri gigi itu ada, maka ia akan menghampirimu dan mencabut gigi mu!”
“TIDAAAAK!”
Sang ayah terkejut melihat putrinya
berteriak cukup keras. Ia tertawa kecil dan menenangkan putrinya dengan mencium
keningnya.
“Ashley,
ayah hanya bercanda.”
“Ayah
jahat…”
“Maafkan
ayah ya.”
Sang ayah mengelap air mata yang
jatuh di pipi Ashley. Ia lalu menyuruh putrinya untuk tidur dan melupakan hal
yang ia ceritakan tadi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seorang pria muda memasuki kamar
Ashley. Dengan langkah hati–hati pria itu menghampiri Ashley yang sedang
tertidur pulas. Sejenak ia memperhatikan Ashley dan tersenyum sambil mengelus
pipi gadis mungil tersebut.
Perlahan pria tersebut memasukkan
tangan kanan ke saku celananya dan mengambil sebuah jarum suntik berisi cairan
berwarna putih bening. Ia pun menyutikkan jarum tersebut pada Ashley sambil
menatap Ashley yang tertidur pulas.
“Ayah
sayang Ashley.”
Ia mencium pipi Ashley lalu kemudian
pergi meninggalkan kamar.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seorang pria turun dari mobilnya dan
memasuki sebuah gedung penelitian yang cukup besar. Terlihat seorang wanita
yang sudah menunggunya tepat di depan pintu masuk gedung. Dengan bergegas
wanita itu mengikuti pria muda tersebut yang berjalan dengan terburu–buru.
“Selamat
pagi tuan Cadris.”
“Pagi
Liana.”
“Hari
ini tuan ada rapat uji kualitas robot jam 10 pagi di gedung XI”
“Oh
penelitian professor Paul dan Kelly itu ya?”
“Iya.
Dan selanjutnya ada makan siang bersama tuan Erigor dirumahnya, lalu ada
penelitian bersama professor Felix tentang pembuatan makanan diet, lalu dengan
professor Aoth melakukan—“
“Emm
liana, bisakah kau bicara dengan tuan Erigor bahwa aku hanya bisa makan malam
dengannya? Dan soal penelitian dengan Professor Aoth tolong diundur karena
setelah bersama professor Felix ada keperluan yang harus aku urusi.”
“Oh
makan malam tuan? Baik tuan.”
“Oke
terimakasih ya. Oh iya tolong ini bawa ke ruangan saya karena saya harus
menemui nyonya Celia terlebih dahulu.”
“Ah
iya, b—baik tuan.”
Liana berusaha menyeimbangkan
badannya saat menerima tumpukan barang dari cadris. Ia pun menatap cadris yang
menghilang saat memasuki lift. Liana menghembuskan nafas panjang, ia lalu pergi
menuju ruangan tempat cadris bekerja.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cadris tersenyum–senyum
memperhatikan gadis kecilnya yang sedang asyik menggambar sambil terkadang
mengeluarkan suara.
“Kamu
gambar apa sayang?”
“Ayah!
Sudah pulang? Lihat aku menggambar Vampire! Dan yang ini pahlawannya.”
Cadris memperhatikan karakter
pahlawan yang digambar oleh Ashley. Dia mirip sekali dengan Cadris, memakasi
jas putih dan berkacamata serta rambutnya yang pendek dan berwarna pirang.
“Dia
terlihat seperti ayah.”
“Iya,
ini memang ayah hehehe.”
“Jadi
ayah pahlawannya?”
Ashley menganggukkan kepala dengan
semangat. Cadris tersenyum, ia mengusap rambut Ashley dan duduk tepat disampingnya.
“Ayah
juga ingin ikut, karena Ayah pahlawannya.”
“Baiklah!
Huu aku sangat haus, berikan aku darahmu..”
“Berhenti
disana vampire! Kau akanku musnahkan dengan kekuatanku! Ciaaat!”
“Ahhh
tidakkkkkk!”
Ashley dan Cadris saling tertawa
terbahak. Tawa Ashley kemudian berhenti menjadi diam dan menundukkan kepalanya.
Cadris mengusap pipi Ashley dengan lembut. Ashley menaikkan kepalanya dan
menatap Cadris lalu memeluknya.
“Ayah,
kenapa aku tidak punya teman?”
“Ayah
teman mu.”
“Tapi
di buku cerita banyak sekali teman yang saling berbagi cerita, duka, dan suka.
Dan kenapa aku tidak boleh keluar rumah ayah?”
“Ashley
sayang, dengarkan ayah. Diluar sana banyak sekali orang jahat yang akan
menyakitimu. Ayah tidak mau kehilangan kamu sayang.”
Ashley terdiam. Ia merasa tidak puas
dengan jawaban dari Cadris. Cadris tersenyum dan mencium pipi anaknya.
“Hmm
ayah punya hadiah untukmmu. Tapi jika kamu seperti ini ayah jadi ragu untuk
memberikannya.”
Kedua mata Ashley langsung terbuka
lebar menatap cadris dengan tatapan berharap. Asley tersenyum lebar seolah
meyakinkan bahwa dirinya sudah merasa puas dengan jawaban dari cadris.
“Hadiah
apa itu ayah?”
“Tapi
kamu harus janji sama ayah ya, kamu harus nurut sama ayah.”
“Tentu
saja, Ashley kan sayang ayah apapun yang terjadi Ashley selalu sayang ayah.”
“Baiklah.
Tunggu disini ya.”
Cadris berdiri mengambil sebuah
kotak berwarna putih dengan pita biru dari saku celananya. Asley yang melihat
kotak tersebut langsung berdiri tak sabar melihat isi kotak yang ukurannya
kecil itu.
“Ini
apa isinya?”
“Coba
kamu buka.”
Ashley langsung bergegas membuka
kotak tersebut dan menemukan sebuah cincin berwarna hitam dengan ukiran bunga
mawar sebagai kepala cincin itu. Sebuah permata berwarna merah tergantung
dibagian ujung bawah bunga mawar tersebut.
“Ahhh
aku suka ini! Terimakasih ayah!!”
Ashley memeluk Cadris dengan erat. Cadris
membalas pelukan gadis kecilnya itu dengan penuh kasih sayang.
“Janji
sama ayah kamu akan terus memakai cincin itu ya.”
Ashley mengangguk dan tersenyum
lebar. Cadris mengelus rambut Ashley dengan lembut dan mencium kening putri
kesayangannya itu.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cadris turun dari mobilnya dan
menatap rumah besar dihadapannya dengan tatapan sinis. Seorang pria yang
terlihat sudah berumur menghampiri Cadris dan setengah menunduk padanya.
“Selamat
malam tuan, kehadiran tuan sudah ditunggu oleh tuan Erigor.”
“Oh.
Baik.”
“Silahkan
ikuti saya, saya akan antarkan tuan ke ruang makan.”
Pria tersebut menunjuk kearah jas
yang dikenakan oleh Cadris seolah menyuruhnya membuka jasnya. Cadris pun
memberikan jas hitamnya kepada pria tua dan mengikuti langkah pria tua tersebut
untuk menuntunnya ke ruang makan.
Sepanjang jalan menuju ruang makan,
koridor ruangan banyak dipenuhi dengan lukisan–lukisan serta patung–patung
antik yang terlihat sangat mahal. Kedua mata cardis mengernyit pada sebuah foto
yang cukup besar terpajang dipertengahan tangga yang terbelah dua.
Difoto tersebut terpajang seorang
wanita cantik beramput pirang dan seorang bayi perempuan bersama dengan seorang
pria yang gagah dengan baju kerajaannya.
“Disini
tuan.”
“O—oh
terimakasih.”
Cadris berusaha mengumpulkan kembali
jiwanya dan memasuki ruang makan. Ia menghembuskan nafas yang panjang lalu
merapihkan dasi yang tertempel di kerah bajunya. Si pria tua menarik sebuah
bangku seolah menyuruh cadris untuk duduk.
Setelah menunggu lebih dari 20 menit
muncul sosok pria yang terlihat sudah berumur mengenakan kemeja putih dengan
menggunakan tongkat mewah menghampiri Cadris. Cadris tak berdiri sedikitpun
dari kursinya dan hanya melirik pria tersebut dengan tatapan tajam.
“Selamat
malam Professor Cadris, sudah lama kita tidak berjumpa.”
Sapa pria tua tersebut sambil
menghentakkan tongkatnya ke lantai. Cadris tersenyum kaku dan berdiri.
“Selamat
malam tuan Erigor.”
“Silahkan
duduk, kau tak perlu berdiri untuk menyapaku.”
Cadris kembali duduk sambil berusaha
menahan emosinya. Ia melirik pria berambut hitam yang sudah hampir dipenuhi
dengan rambut berwarna putih itu dengan sinis. Erigor tersenyum sambil menopang
dagunya dengan kedua tangannya diatas meja.
“Jadi,
bagaimana kabar mu? Kau tahu, saat aku dengar tentang kematian putri serta
istrimu, aku turut berduka Cadris. Andai saja kau tidak bercerai dan kecelakaan
itu tidak terjadi.”
“Yah,
itu semua sudah lewat. Percuma juga aku sesali.”
“Hahahaha!
Kau benar, maafkan aku sudah berbicara seperti itu.”
Cadris tersenyum kaku. Sang pelayan
memberikan makanan pembuka berupa makanan ala Italy. Erigor tersenyum mengambil
sendoknya.
“Ini
makanan kesukaan ku! Silahkan dicicipi professor!”
“Iya,
terimakasih tuan Erigor.”
“Oh iya Cadris, aku baru ingat! Minggu kemarin
saat aku pulang dari kantorku, aku berkunjung kerumahmu, tapi tampaknya kau
tidak ada dirumah ya?”
“Minggu
kemarin? Oh, hari itu aku sedang ada tugas dengan Professor Paula”
Cadris terdiam. Ia mengencangkan genggaman
garpu ditangan kanannya, menahan emosinya.
“Oh
sungguh? Tapi aku melihat gadis kecil dari jendela yang menuju ruang tengahmu.
Siapa dia? Aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Apakah—“
“Tuan
Erigor, mungkin anda salah lihat.”
Cadris tersenyum, sengaja memotong
pembicaraan Erigor sebelum emosinya naik pitam. Cadris dapat merasakan Erigor
tersenyum puas karena berhasil memojokkannya.
“Benarkah?
Tapi sepertinya pengelihatanku benar. Aku yakin gadis itu sedang—“
Cadris mengebrak meja makan.
Mengatur nafasnya. Ia ingin menampar Erigor sekarang juga. Tapi ia berusaha
menahan emosinya.
“Maaf,
Tuan Erigor. Tapi aku harus pergi sekarang juga.”
Cadris bergegas pergi dari ruang
makan, mengambil jasnya dan menuju mobil
dengan cepat.
-------------------------
Cadris melangkahkan kakinya dengan
cepat menuju pintu keluar. Ia ingin cepat–cepat pergi dari rumah yang ia anggap
sebagai rumah hantu. Ia ingin cepat sampai kerumah dan menghabiskan waktu
bersama putri kesayangannya.
Dari kejauhan terlihat Erigor yang
sedang menerima telfon sambil menatap keluar jendela. Ia memperhatikan Cadris
yang melangkahkan kakinya dengan cepat menuju mobil dan lalu bergegas pergi.
“Aku
rasa kita harus segera bertindak. Biar aku yang selesaikan ini, anda tinggal
menunggu hasilnya saja.”
Erigor tersenyum licik sambil
berbicara dengan seseorang diseberang sana yang sedang berbicara dengan erigor
melalui telfon.
Komentar
Posting Komentar