Ashley, The White Winged Demon chapter 1


            Terdengar suara berat seorang pria yang sedang membacakan sebuah cerita tidur untuk putri kecilnya. Wajah sang pria yang berubah–ubah sesuai dengan adegan telah berhasil membuat putri kecilnya terkesima.

“Ayah, apa peri gigi itu sungguh ada?”

            Sang ayah berhenti membaca dan tersenyum. Ia mengusap–ngusap kepala putri kesayangannya itu dengan lembut.

“Tidak nak. Itu hanya cerita dongeng.”

“Tapi… bagaimana jika peri gigi itu ternyata ada?”

“Hmmm—jika peri gigi itu ada, maka ia akan menghampirimu dan mencabut gigi mu!”

“TIDAAAAK!”

            Sang ayah terkejut melihat putrinya berteriak cukup keras. Ia tertawa kecil dan menenangkan putrinya dengan mencium keningnya.

“Ashley, ayah hanya bercanda.”

“Ayah jahat…”

“Maafkan ayah ya.”

            Sang ayah mengelap air mata yang jatuh di pipi Ashley. Ia lalu menyuruh putrinya untuk tidur dan melupakan hal yang ia ceritakan tadi.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Seorang pria muda memasuki kamar Ashley. Dengan langkah hati–hati pria itu menghampiri Ashley yang sedang tertidur pulas. Sejenak ia memperhatikan Ashley dan tersenyum sambil mengelus pipi gadis mungil tersebut.

            Perlahan pria tersebut memasukkan tangan kanan ke saku celananya dan mengambil sebuah jarum suntik berisi cairan berwarna putih bening. Ia pun menyutikkan jarum tersebut pada Ashley sambil menatap Ashley yang tertidur pulas.

“Ayah sayang Ashley.”

            Ia mencium pipi Ashley lalu kemudian pergi meninggalkan kamar.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Seorang pria turun dari mobilnya dan memasuki sebuah gedung penelitian yang cukup besar. Terlihat seorang wanita yang sudah menunggunya tepat di depan pintu masuk gedung. Dengan bergegas wanita itu mengikuti pria muda tersebut yang berjalan dengan terburu–buru.

“Selamat pagi tuan Cadris.”

“Pagi Liana.”

“Hari ini tuan ada rapat uji kualitas robot jam 10 pagi di gedung XI”

“Oh penelitian professor Paul dan Kelly itu ya?”

“Iya. Dan selanjutnya ada makan siang bersama tuan Erigor dirumahnya, lalu ada penelitian bersama professor Felix tentang pembuatan makanan diet, lalu dengan professor Aoth melakukan—“

“Emm liana, bisakah kau bicara dengan tuan Erigor bahwa aku hanya bisa makan malam dengannya? Dan soal penelitian dengan Professor Aoth tolong diundur karena setelah bersama professor Felix ada keperluan yang harus aku urusi.”

“Oh makan malam tuan? Baik tuan.”

“Oke terimakasih ya. Oh iya tolong ini bawa ke ruangan saya karena saya harus menemui nyonya Celia terlebih dahulu.”

“Ah iya, b—baik tuan.”

            Liana berusaha menyeimbangkan badannya saat menerima tumpukan barang dari cadris. Ia pun menatap cadris yang menghilang saat memasuki lift. Liana menghembuskan nafas panjang, ia lalu pergi menuju ruangan tempat cadris bekerja.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Cadris tersenyum–senyum memperhatikan gadis kecilnya yang sedang asyik menggambar sambil terkadang mengeluarkan suara.

“Kamu gambar apa sayang?”

“Ayah! Sudah pulang? Lihat aku menggambar Vampire! Dan yang ini pahlawannya.”

            Cadris memperhatikan karakter pahlawan yang digambar oleh Ashley. Dia mirip sekali dengan Cadris, memakasi jas putih dan berkacamata serta rambutnya yang pendek dan berwarna pirang.

“Dia terlihat seperti ayah.”

“Iya, ini memang ayah hehehe.”

“Jadi ayah pahlawannya?”

            Ashley menganggukkan kepala dengan semangat. Cadris tersenyum, ia mengusap rambut Ashley dan duduk tepat disampingnya.

“Ayah juga ingin ikut, karena Ayah pahlawannya.”

“Baiklah! Huu aku sangat haus, berikan aku darahmu..”

“Berhenti disana vampire! Kau akanku musnahkan dengan kekuatanku! Ciaaat!”

“Ahhh tidakkkkkk!”

            Ashley dan Cadris saling tertawa terbahak. Tawa Ashley kemudian berhenti menjadi diam dan menundukkan kepalanya. Cadris mengusap pipi Ashley dengan lembut. Ashley menaikkan kepalanya dan menatap Cadris lalu memeluknya.

“Ayah, kenapa aku tidak punya teman?”

“Ayah teman mu.”

“Tapi di buku cerita banyak sekali teman yang saling berbagi cerita, duka, dan suka. Dan kenapa aku tidak boleh keluar rumah ayah?”

“Ashley sayang, dengarkan ayah. Diluar sana banyak sekali orang jahat yang akan menyakitimu. Ayah tidak mau kehilangan kamu sayang.”

            Ashley terdiam. Ia merasa tidak puas dengan jawaban dari Cadris. Cadris tersenyum dan mencium pipi anaknya.

“Hmm ayah punya hadiah untukmmu. Tapi jika kamu seperti ini ayah jadi ragu untuk memberikannya.”

            Kedua mata Ashley langsung terbuka lebar menatap cadris dengan tatapan berharap. Asley tersenyum lebar seolah meyakinkan bahwa dirinya sudah merasa puas dengan jawaban dari cadris.

“Hadiah apa itu ayah?”

“Tapi kamu harus janji sama ayah ya, kamu harus nurut sama ayah.”

“Tentu saja, Ashley kan sayang ayah apapun yang terjadi Ashley selalu sayang ayah.”

“Baiklah. Tunggu disini ya.”

            Cadris berdiri mengambil sebuah kotak berwarna putih dengan pita biru dari saku celananya. Asley yang melihat kotak tersebut langsung berdiri tak sabar melihat isi kotak yang ukurannya kecil itu.

“Ini apa isinya?”

“Coba kamu buka.”

            Ashley langsung bergegas membuka kotak tersebut dan menemukan sebuah cincin berwarna hitam dengan ukiran bunga mawar sebagai kepala cincin itu. Sebuah permata berwarna merah tergantung dibagian ujung bawah bunga mawar tersebut.

“Ahhh aku suka ini! Terimakasih ayah!!”

            Ashley memeluk Cadris dengan erat. Cadris membalas pelukan gadis kecilnya itu dengan penuh kasih sayang.

“Janji sama ayah kamu akan terus memakai cincin itu ya.”

            Ashley mengangguk dan tersenyum lebar. Cadris mengelus rambut Ashley dengan lembut dan mencium kening putri kesayangannya itu.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Cadris turun dari mobilnya dan menatap rumah besar dihadapannya dengan tatapan sinis. Seorang pria yang terlihat sudah berumur menghampiri Cadris dan setengah menunduk padanya.

“Selamat malam tuan, kehadiran tuan sudah ditunggu oleh tuan Erigor.”

“Oh. Baik.”

“Silahkan ikuti saya, saya akan antarkan tuan ke ruang makan.”

            Pria tersebut menunjuk kearah jas yang dikenakan oleh Cadris seolah menyuruhnya membuka jasnya. Cadris pun memberikan jas hitamnya kepada pria tua dan mengikuti langkah pria tua tersebut untuk menuntunnya ke ruang makan.

            Sepanjang jalan menuju ruang makan, koridor ruangan banyak dipenuhi dengan lukisan–lukisan serta patung–patung antik yang terlihat sangat mahal. Kedua mata cardis mengernyit pada sebuah foto yang cukup besar terpajang dipertengahan tangga yang terbelah dua.

            Difoto tersebut terpajang seorang wanita cantik beramput pirang dan seorang bayi perempuan bersama dengan seorang pria yang gagah dengan baju kerajaannya.

“Disini tuan.”

“O—oh terimakasih.”

            Cadris berusaha mengumpulkan kembali jiwanya dan memasuki ruang makan. Ia menghembuskan nafas yang panjang lalu merapihkan dasi yang tertempel di kerah bajunya. Si pria tua menarik sebuah bangku seolah menyuruh cadris untuk duduk.

            Setelah menunggu lebih dari 20 menit muncul sosok pria yang terlihat sudah berumur mengenakan kemeja putih dengan menggunakan tongkat mewah menghampiri Cadris. Cadris tak berdiri sedikitpun dari kursinya dan hanya melirik pria tersebut dengan tatapan tajam.

“Selamat malam Professor Cadris, sudah lama kita tidak berjumpa.”

            Sapa pria tua tersebut sambil menghentakkan tongkatnya ke lantai. Cadris tersenyum kaku dan berdiri.

“Selamat malam tuan Erigor.”

“Silahkan duduk, kau tak perlu berdiri untuk menyapaku.”

            Cadris kembali duduk sambil berusaha menahan emosinya. Ia melirik pria berambut hitam yang sudah hampir dipenuhi dengan rambut berwarna putih itu dengan sinis. Erigor tersenyum sambil menopang dagunya dengan kedua tangannya diatas meja.

“Jadi, bagaimana kabar mu? Kau tahu, saat aku dengar tentang kematian putri serta istrimu, aku turut berduka Cadris. Andai saja kau tidak bercerai dan kecelakaan itu tidak terjadi.”

“Yah, itu semua sudah lewat. Percuma juga aku sesali.”

“Hahahaha! Kau benar, maafkan aku sudah berbicara seperti itu.”

            Cadris tersenyum kaku. Sang pelayan memberikan makanan pembuka berupa makanan ala Italy. Erigor tersenyum mengambil sendoknya.

“Ini makanan kesukaan ku! Silahkan dicicipi professor!”

“Iya, terimakasih tuan Erigor.”

 “Oh iya Cadris, aku baru ingat! Minggu kemarin saat aku pulang dari kantorku, aku berkunjung kerumahmu, tapi tampaknya kau tidak ada dirumah ya?”

“Minggu kemarin? Oh, hari itu aku sedang ada tugas dengan Professor Paula”

            Cadris terdiam. Ia mengencangkan genggaman garpu ditangan kanannya, menahan emosinya.

“Oh sungguh? Tapi aku melihat gadis kecil dari jendela yang menuju ruang tengahmu. Siapa dia? Aku tak pernah melihatnya sebelumnya. Apakah—“

“Tuan Erigor, mungkin anda salah lihat.”

            Cadris tersenyum, sengaja memotong pembicaraan Erigor sebelum emosinya naik pitam. Cadris dapat merasakan Erigor tersenyum puas karena berhasil memojokkannya.

“Benarkah? Tapi sepertinya pengelihatanku benar. Aku yakin gadis itu sedang—“

            Cadris mengebrak meja makan. Mengatur nafasnya. Ia ingin menampar Erigor sekarang juga. Tapi ia berusaha menahan emosinya.

“Maaf, Tuan Erigor. Tapi aku harus pergi sekarang juga.”

            Cadris bergegas pergi dari ruang makan, mengambil jasnya  dan menuju mobil dengan cepat.

-------------------------

            Cadris melangkahkan kakinya dengan cepat menuju pintu keluar. Ia ingin cepat–cepat pergi dari rumah yang ia anggap sebagai rumah hantu. Ia ingin cepat sampai kerumah dan menghabiskan waktu bersama putri kesayangannya.

            Dari kejauhan terlihat Erigor yang sedang menerima telfon sambil menatap keluar jendela. Ia memperhatikan Cadris yang melangkahkan kakinya dengan cepat menuju mobil dan lalu bergegas pergi.

“Aku rasa kita harus segera bertindak. Biar aku yang selesaikan ini, anda tinggal menunggu hasilnya saja.”

            Erigor tersenyum licik sambil berbicara dengan seseorang diseberang sana yang sedang berbicara dengan erigor melalui telfon.

Komentar