Ashley kebingungan melihat tingkah
laku Cadris dari tadi pagi. Malam ini Cadris terlihat terburu-buru memasukkan
barang–barang kedalam koper yang besar. Ia juga memasukkan barang–barang Ashley
kedalam koper besar berwarna biru, warna favorite Ashley.
“Ayah,
kita mau kemana?”
“Kita
akan pindah rumah sayang. Bukankah kau ingin mendapat teman?”
“Pindah?
Kemana? Apa kita akan pindah ke daerah yang banyak ladang bunga dan gadis kecil
seperti ku? Apa aku akan dapat teman disana?”
“Tentu
saja sayang. Jadi, maukah kamu ikut dengan ayah?”
“Tentu
saja!”
Ashley tersenyum lebar. Cadris
mencium kening putrinya dan kembali mengkemas barang–barangnya. Ashley yang
melihatnya pun ikut membantu Cadris. Cadris tersenyum melihat putri
kesayangannya. Sebenarnya Cadris tak ingin membohongi Ashley, tapi demi
kebaikan Ashley ia harus berbohong kepadanya. Cadris berniat pindah kerumah
yang terletak dipuncak gunung yang jauh dari keramaian orang. Ia tak ingin
seseorang mengincar Ashley, putri kesayangannya.
Cadris pun memasukkan koper–kopernya
kedalam mobil. Ia kembali mengecek perlengkapannya. Ia lalu mengajak Ashley
masuk kedalam kamarnya. Ashley bingung mengapa ia tak langsung diajak untuk
masuk kedalam mobil.
Didalam kamar, Cadris mengajaknya
untuk bermain petak umpet terlebih dahulu sebelum berangkat. Ashley yang tak
tahu apa–apa pun mengikuti perkataan Cadris. Ashley menutup kedua matanya dan
menghitung mundur dari 10.
Dibelakang, Cadris diam–diam
mengambil jarum suntik dari saku celananya dan langsung menyuntik Ashley.
Ashley tersontak kaget, ia mencoba untuk berbicara tapi ia tidak bisa. Perlahan
kedua matanya tertutup dan ia tertidur.
“Maafkan
ayah Ashley. Ini semua demi kebaikanmu.”
Cadris pun menggendong Ashley dan
membawanya masuk kedalam mobil. Dengan cepat Cadris membawa mobilnya menuju
tempat yang sudah ditentukan oleh Cadris.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cadris menyetir mobilnya dengan
kecepatan tinggi. Situasi saat itu sepi sunyi, tak terlihat adanya kendaraan
yang berlaju. Cadris melirik ke arah jam tangannya. 23.45. dengan cepat ia
memacu mobilnya menuju perbatasan luar kota.
“Terkutuk
lah wahai kau iblis.”
Keringat dingin bercucuran saat
melihat sinar lampu mobil dibelakangnya. Ia semakin menekan gas mobilnya.
Terdengar suara benda jatuh tepat dibelakang mobil Cadris.
“Sial!”
Cadris tersentak saat melihat
seorang pria tepat di kaca depan mobilnya. Matanya merah menyala membuat aura
kegelapan muncul disekitar dirinya. Pria itu menghancurkan kaca depan mobil,
membuat mobil berhenti mendadak. Ia mencekik leher Cadris membuat dirinya sulit
untuk bernafas.
“Ayah?”
Kedua mata Ashley terbuka perlahan,
setengah sadar ia mengucek–ngucek matanya sambil merangkul bonekanya. Ia
tersentak saat melihat tubuh Cadris lemas tak berdaya, lehernya dicekik oleh
seorang pria yang bermata merah menyala. Monster lebih tepatnya.
Ashley menutup mulut dengan kedua
tangannya. Air mata tak dapat ia tahan. Takut, sedih, marah, bercampur menjadi
satu melihat monster di depannya yang sedang menyakiti Cadris. Kuku jarinya
yang panjang dan tajam, taring pada giginya serta bulu yang cukup lebat pada
pergelangan tangannya.
“Siapa
kau ? A—ayah! Lepaskan Ayah ku! Lepaskan!!”
Ashley memukul–mukul kaki monster
itu, membuatnya tertawa sinis. Pria itu menendang Ashley hingga ia jatuh
terluka.
“A—ashley”
Cadris mencoba melepaskan cengkraman
pria monster dari lehernya namun ia tak bisa. Ashley berdiri, menghampiri
kembali pria itu dan menggigit kakinya. Pria itu tak berkutik sama sekali, ia
malah kembali menendang Ashley.
“Kau
sudah keterlaluan, Greil. ‘mereka’ bilang kau boleh membunuh ayahnya dan tidak
melukai anaknya!”
Greil mendengus kesal. Ia menatap
sinis pria berambut hitam panjang dan terikat itu.
“Jangan
mentang–mentang hari ini bulan purnama dan kau tak bisa mengendalikan emosi mu,
bodoh!”
“Lebih
baik kau diam, Peter! Lalu aku boleh membunuh pria ini?”
“Lakukan
apa yang kau mau, aku tak peduli.”
Peter melangkah menghampiri Ashley.
Ashley merangkak mundur menjauhi Peter. Air matanya semakin deras saat Greil
mengencangkan cengkramannya membuat Cadris tak berdaya. Ashley berdiri,
tiba–tiba saja matanya berubah menjadi warna merah membuat Peter tersentak.
“LEPASKAN
AYAH KU!”
Tiba–tiba saja tubuh Ashley sudah
berada di depan Greil membuat Greil kaget. Tubuh Greil terpental cukup jauh
akibat pukulan Ashley. Greil berusaha bangun dan menyeimbangkan posisi
tubuhnya. Ia menjadi semakin lepas kendali dan menghajar Ashley tanpa henti.
“Hentikan
kalian berdua!”
Semburan api berhasil memisahkan
Ashley dan Greil. Lama–kelamaan semburan api itu berubah menjadi sesosok wanita
cantik berambut merah pendek. Wanita tersebut memukul leher Ashley hingga
membuatnya tak sadarkan diri.
“Greil!
Bukankah sudah dibilang kau tak boleh menyakitinya! Dia barang berharga!”
“Tapi
Iris, dia yang—“
“Tidak
ada alasan! Dan kau juga Peter! Orang itu bilang kita harus membawa Cadris
serta Asley dalam keadaan hidup. Kau berbohong tentang membunuh Cadris!”
“Tapi
Erigor bilang—“
“Sudah
ku bilang berapa kali jangan pernah percaya dengan Erigor! Sekarang bawa Cadris
ke tempat yang seharusnya! Aku akan membawa anak ini kembali ke kota.”
Peter mendengus, ia melangkahkan
kakinya dengan kesal menghampiri tubuh Cadris yang sudah terkulai lemas
dipenuhi dengan luka. Iris menghela nafas panjang, ia lalu menggendong Ashley
dan membawanya kembali ke kota.
-----------------------------------
Suara gemuruh kilat membangunkanku
di tengah malam. Aku terdiam sejenak menatap sekeliling. Aku langsung menoleh
saat tangan ku seperti ada yang memeluknya.
“Ada
apa, babe?”
Aku tersenyum dan menggeleng pelan.
Teringat kejadian semalam saat aku bertemu dengan wanita ini, Jen namanya.
Perlahan aku dekati wajahnya, aku menatapnya perlahan menyingkirkan rambut di
telinganya. Aku mencium lehernya lalu menggigitnya. Seketika kedua bola mata ku
langsung berubah menjadi berwarna merah menyala.
Seorang pria berjas hitam yang ku
kenali tiba – tiba saja masuk ke kamar. Ia terlihat tak jijik sama sekali
melihat aku menghisap darah wanita yang ada di depanku tanpa ada sehelai benang
pun di badannya.
“Tuan
Clyde, besok anak perempuan itu sudah tiba di kota.”
Aku tersenyum licik sambil memegangi
tubuh Jen yang mulai terkulai lemas karena aku menghisap darahnya terlalu
banyak. Aku mengelap sisa darah yang masih menempel di ujung mulut ku.
“Apa
anda yakin wanita itu yang tuan cari?”
Aku melirik ke arah Darton. Dapat ku
lihat sekilas ia sedikit tersentak saat melihat warna kedua bola mataku dan
aroma darah yang mengalir dari leher Jen. Darton yang seperti sudah mengerti
langsung membungkuk sambil melirik Jen yang masih terkulai lemas. Aku yang
menyadari lirikan Darton tersenyum dan melempar tubuh Jen pada Darton. Darton
menangkap Jen dengan sempoyongan. “mungkin aku terlalu kuat melemparnya” fikir
ku sambil tertawa kecil.
“Pulangkan
dia Darton. Dan—oh ya hapus ingatannya.”
“Tapi
dia—”
“Beri
saja dia darah.”
“Baik,
tuan.”
Aku berdiri menghampiri jendela
kamar. Terlihat hujan yang cukup deras disertai petir dimana–mana. Aku melirik
sebuah buku yang terletak diatas meja. Aku menghampiri buku tersebut dan
membukanya dengan perlahan. “Demons, Angels, and Human” begitulah yang tertulis
dibuku tersebut.
Komentar
Posting Komentar