Ashley, The White Winged Demon chapter 2


            Ashley kebingungan melihat tingkah laku Cadris dari tadi pagi. Malam ini Cadris terlihat terburu-buru memasukkan barang–barang kedalam koper yang besar. Ia juga memasukkan barang–barang Ashley kedalam koper besar berwarna biru, warna favorite Ashley.

“Ayah, kita mau kemana?”

“Kita akan pindah rumah sayang. Bukankah kau ingin mendapat teman?”

“Pindah? Kemana? Apa kita akan pindah ke daerah yang banyak ladang bunga dan gadis kecil seperti ku? Apa aku akan dapat teman disana?”

“Tentu saja sayang. Jadi, maukah kamu ikut dengan ayah?”

“Tentu saja!”

            Ashley tersenyum lebar. Cadris mencium kening putrinya dan kembali mengkemas barang–barangnya. Ashley yang melihatnya pun ikut membantu Cadris. Cadris tersenyum melihat putri kesayangannya. Sebenarnya Cadris tak ingin membohongi Ashley, tapi demi kebaikan Ashley ia harus berbohong kepadanya. Cadris berniat pindah kerumah yang terletak dipuncak gunung yang jauh dari keramaian orang. Ia tak ingin seseorang mengincar Ashley, putri kesayangannya.

            Cadris pun memasukkan koper–kopernya kedalam mobil. Ia kembali mengecek perlengkapannya. Ia lalu mengajak Ashley masuk kedalam kamarnya. Ashley bingung mengapa ia tak langsung diajak untuk masuk kedalam mobil.

            Didalam kamar, Cadris mengajaknya untuk bermain petak umpet terlebih dahulu sebelum berangkat. Ashley yang tak tahu apa–apa pun mengikuti perkataan Cadris. Ashley menutup kedua matanya dan menghitung mundur dari 10.

            Dibelakang, Cadris diam–diam mengambil jarum suntik dari saku celananya dan langsung menyuntik Ashley. Ashley tersontak kaget, ia mencoba untuk berbicara tapi ia tidak bisa. Perlahan kedua matanya tertutup dan ia tertidur.

“Maafkan ayah Ashley. Ini semua demi kebaikanmu.”

            Cadris pun menggendong Ashley dan membawanya masuk kedalam mobil. Dengan cepat Cadris membawa mobilnya menuju tempat yang sudah ditentukan oleh Cadris.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Cadris menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Situasi saat itu sepi sunyi, tak terlihat adanya kendaraan yang berlaju. Cadris melirik ke arah jam tangannya. 23.45. dengan cepat ia memacu mobilnya menuju perbatasan luar kota.

“Terkutuk lah wahai kau iblis.”

            Keringat dingin bercucuran saat melihat sinar lampu mobil dibelakangnya. Ia semakin menekan gas mobilnya. Terdengar suara benda jatuh tepat dibelakang mobil Cadris.

“Sial!”

            Cadris tersentak saat melihat seorang pria tepat di kaca depan mobilnya. Matanya merah menyala membuat aura kegelapan muncul disekitar dirinya. Pria itu menghancurkan kaca depan mobil, membuat mobil berhenti mendadak. Ia mencekik leher Cadris membuat dirinya sulit untuk bernafas.

“Ayah?”

            Kedua mata Ashley terbuka perlahan, setengah sadar ia mengucek–ngucek matanya sambil merangkul bonekanya. Ia tersentak saat melihat tubuh Cadris lemas tak berdaya, lehernya dicekik oleh seorang pria yang bermata merah menyala. Monster lebih tepatnya.

            Ashley menutup mulut dengan kedua tangannya. Air mata tak dapat ia tahan. Takut, sedih, marah, bercampur menjadi satu melihat monster di depannya yang sedang menyakiti Cadris. Kuku jarinya yang panjang dan tajam, taring pada giginya serta bulu yang cukup lebat pada pergelangan tangannya.

“Siapa kau ? A—ayah! Lepaskan Ayah ku! Lepaskan!!”

            Ashley memukul–mukul kaki monster itu, membuatnya tertawa sinis. Pria itu menendang Ashley hingga ia jatuh terluka.

“A—ashley”

            Cadris mencoba melepaskan cengkraman pria monster dari lehernya namun ia tak bisa. Ashley berdiri, menghampiri kembali pria itu dan menggigit kakinya. Pria itu tak berkutik sama sekali, ia malah kembali menendang Ashley.

“Kau sudah keterlaluan, Greil. ‘mereka’ bilang kau boleh membunuh ayahnya dan tidak melukai anaknya!”

            Greil mendengus kesal. Ia menatap sinis pria berambut hitam panjang dan terikat itu.

“Jangan mentang–mentang hari ini bulan purnama dan kau tak bisa mengendalikan emosi mu, bodoh!”

“Lebih baik kau diam, Peter! Lalu aku boleh membunuh pria ini?”

“Lakukan apa yang kau mau, aku tak peduli.”

            Peter melangkah menghampiri Ashley. Ashley merangkak mundur menjauhi Peter. Air matanya semakin deras saat Greil mengencangkan cengkramannya membuat Cadris tak berdaya. Ashley berdiri, tiba–tiba saja matanya berubah menjadi warna merah membuat Peter tersentak.

“LEPASKAN AYAH KU!”

            Tiba–tiba saja tubuh Ashley sudah berada di depan Greil membuat Greil kaget. Tubuh Greil terpental cukup jauh akibat pukulan Ashley. Greil berusaha bangun dan menyeimbangkan posisi tubuhnya. Ia menjadi semakin lepas kendali dan menghajar Ashley tanpa henti.

“Hentikan kalian berdua!”

            Semburan api berhasil memisahkan Ashley dan Greil. Lama–kelamaan semburan api itu berubah menjadi sesosok wanita cantik berambut merah pendek. Wanita tersebut memukul leher Ashley hingga membuatnya tak sadarkan diri.

“Greil! Bukankah sudah dibilang kau tak boleh menyakitinya! Dia barang berharga!”

“Tapi Iris, dia yang—“

“Tidak ada alasan! Dan kau juga Peter! Orang itu bilang kita harus membawa Cadris serta Asley dalam keadaan hidup. Kau berbohong tentang membunuh Cadris!”

“Tapi Erigor bilang—“

“Sudah ku bilang berapa kali jangan pernah percaya dengan Erigor! Sekarang bawa Cadris ke tempat yang seharusnya! Aku akan membawa anak ini kembali ke kota.”

            Peter mendengus, ia melangkahkan kakinya dengan kesal menghampiri tubuh Cadris yang sudah terkulai lemas dipenuhi dengan luka. Iris menghela nafas panjang, ia lalu menggendong Ashley dan membawanya kembali ke kota.

-----------------------------------

            Suara gemuruh kilat membangunkanku di tengah malam. Aku terdiam sejenak menatap sekeliling. Aku langsung menoleh saat tangan ku seperti ada yang memeluknya.

“Ada apa, babe?”

            Aku tersenyum dan menggeleng pelan. Teringat kejadian semalam saat aku bertemu dengan wanita ini, Jen namanya. Perlahan aku dekati wajahnya, aku menatapnya perlahan menyingkirkan rambut di telinganya. Aku mencium lehernya lalu menggigitnya. Seketika kedua bola mata ku langsung berubah menjadi berwarna merah menyala.

            Seorang pria berjas hitam yang ku kenali tiba – tiba saja masuk ke kamar. Ia terlihat tak jijik sama sekali melihat aku menghisap darah wanita yang ada di depanku tanpa ada sehelai benang pun di badannya.

“Tuan Clyde, besok anak perempuan itu sudah tiba di kota.”

            Aku tersenyum licik sambil memegangi tubuh Jen yang mulai terkulai lemas karena aku menghisap darahnya terlalu banyak. Aku mengelap sisa darah yang masih menempel di ujung mulut ku.

“Apa anda yakin wanita itu yang tuan cari?”

            Aku melirik ke arah Darton. Dapat ku lihat sekilas ia sedikit tersentak saat melihat warna kedua bola mataku dan aroma darah yang mengalir dari leher Jen. Darton yang seperti sudah mengerti langsung membungkuk sambil melirik Jen yang masih terkulai lemas. Aku yang menyadari lirikan Darton tersenyum dan melempar tubuh Jen pada Darton. Darton menangkap Jen dengan sempoyongan. “mungkin aku terlalu kuat melemparnya” fikir ku sambil tertawa kecil.

“Pulangkan dia Darton. Dan—oh ya hapus ingatannya.”

“Tapi dia—”

“Beri saja dia darah.”

“Baik, tuan.”

            Aku berdiri menghampiri jendela kamar. Terlihat hujan yang cukup deras disertai petir dimana–mana. Aku melirik sebuah buku yang terletak diatas meja. Aku menghampiri buku tersebut dan membukanya dengan perlahan. “Demons, Angels, and Human” begitulah yang tertulis dibuku tersebut.

Komentar